Pendahuluan
Bukan hal baru lagi jika pelayanan
publik di indonesia sudah menjadi cap negatif dikalangan masyarakat dimana
untuk mendapatkan pelayanan masyarakat harus melewati rantai meja birokrasi
yang panjang dan berbelit-belit. Kemampuan pelayan publik yang tidak memadai
dan seringkali tidak memahami posisi masyarakat sebagai warga negara sehingga
kadang cenderung meremehkan dan memberikan kualitas pelayanan yang seadanya dan
menciptakan dua zona berbeda dalam memberikan pelayanan, tergantung pada
kapasitas keuangan atau finansial yang dimiliki oleh masyarakat atau
orang-orang yang ingin memperoleh pelayanan. Zona eksklusif bagi yang mampu dan
zona standar bagi yang memiliki kepasitas finansial rendah. Hal ini sejalan
dengan yang dikatakan Eko Prasojo dalam tulisannya yang berjudul “Prahara Birokrasi
Publik di Indonesia” dimana ada dua hal besar yang digaris bawahi yang
menyebabkan buruknya kualitas pelayanan publik di Indonesia, terutama yang
berkenaan dengan kapabilitas/kompetensi dari pelayan publik, yaitu masalah moral hazards (kehancuran moral) dan lack of competencies (kesenjangan
kompetensi).[1]Penyebabnya
baik karena kualitas moral pribadi dari pelayan publik atau aparatur negara itu
sendiri, kelonggaran dalam organisasi yang memungkinkan untuk terjadinya
diskresi yang tidak bertanggung jawab dan juga karena sistem perekrutan pegawai
di Indonesia yang masih diwarnai oleh sistem kekeluargaan (kolusi), suap atau
main jalur belakang sehingga menghasilkan birokrat-birokrat yang tidak tanggap
dengan kebutuhan publik, tidak kompeten, tidak memiliki etika yang bagus dan
moral yang rusak. Hal ini juga didukung oleh budaya di Indonesia yang terlalu
permisif dan cenderung membenarkan hal-hal tersebut.
Lalu
bagaimana seharusnya pelayanan publik di Indonesia dapat diperbaiki dan
ditingkatkan untuk dapat melayani publik dengan sebagaimana mestinya? Bagaimana
sistem pemerintahan Indonesia yang desentralistik dapat mempraktekkan pelayanan
publik yang berkualitas? Hal ini akan coba dijawab dengan berbagai perkembangan
paradigma dalam pelayanan publik yang tentu saja merupakan “produk” dari
pemikir-pemikir administrasi publik luar terutama dari benua amerika dan eropa
dan Indonesia sebagaimana diketahui belum mampu menjabarkan sendiri bagaimana
seharusnya pelayanan publik yang dapat dipraktekkan dan cocok dengan budaya di
Indonesia dan untuk sekarang ini hanya menjadi follower atau pengikut dari
perkembangan paradigma pelayanan publik tersebut.
Administrasi
Publik Tradisional / Klasik(Old Public
Administration)
Perkembangan
paradigma administrasi publik klasik dimulai ketika awal kelahiran dari
administrasi publik itu sendiri. Administrasi publik klasik sebagaimana yang
dijelaskan oleh Teguh Kurniawan dalam jurnalnya yang berjudul “Pergeseran
Paradigma Administrasi Publik : dari Perilaku Model Klasik dan NPM ke Good Governance” [2],
pada masa perkembangan awal, administrasi publik dikenal dengan konsep yang
sangat legalistik, ter-institusionalisasi, dengan berbagai macam aturan yang
mengikat, struktur organisasi yang hirarkis yang kurang memungkinkan adanya
koordinasi dari berbagai fungsi sehingga sangat sentralistik dan betapa
besarnya dominasi pemerintah dalam berbagai hal termasuk pemberian pelayanan
publik. Besarnya intervensi pemerintah pada semua segmen kehidupan masyarakat
menjadikan pemerintah sebagai penguasa tunggal, dimana peraturan atau kebijakan
yang dibuat dimungkinkan untuk diambil alih secara penuh oleh pemerintah tanpa
melibatkan berbagai aktor lainnya seperti perwakilan dari sector bisnis dan
khususnya partisipasi masyarakat.
Hal
ini menimbulkan dampak dengan besarnya anggaran yang harus dikeluarkan
pemerintah untuk membiayai organisasi pemerintahan yang formasi birokrasinya
cenderung “gemuk” dengan bermacam fungsi yang terlalu boros dan tidak memiliki
tupoksi yang jelas. Terlebih lagi dengan masyarakat yang dihadapkan pada rantai
meja-meja pelayanan yang berbelit dan semakin menjauhkan hubungan masyarakat
dengan pemerintah, seakan-akan terjadi pembatasan yang jelas antara pemerintah
dan masyarakat, dan ini akan membuat pemerintah sulit untuk ditempuh oleh
masyarakat. Tentu saja ini memberatkan masyarakat sebagai pembayar pajak dimana
hasil pajak lebih banyak keluar untuk gaji pegawai dan pembiayaan pemerintah
lainnya namun sedikit untuk layanan terhadap publik.
Secara ringkas, Denhardt
dan Denhardt menguraikan karakteristik OPA sebagai berikut:[3]
·
Fokus
utama adalah penyediaan pelayanan publik melalui organisasi atau badan resmi
pemerintah.
·
Kebijakan
publik dan administrasi negara dipahami sebagai penataan dan implementasi
kebijakan yang berfokus pada satu cara terbaik, kebijakan publik dan
administrasi negara sebagai tujuan yang bersifat politik.
·
Administrator
publik memainkan peranan yang terbatas dalam perumusan kebijakan publik dan
pemerintahan; mereka hanya bertanggung-jawab mengimplementasikan kebijakan
publik.
·
Pelayanan
publik harus diselenggarakan oleh administrator yang bertanggung-jawab kepada
pejabat politik (elected officials)
dan dengan diskresi terbatas.
·
Administrator
bertanggung-jawab kepada pimpinan pejabat politik (elected political leaders) yang telah terpilih secara demokratis.
·
Program-program
publik dilaksanakan melalui organisasi yang hierarkis dengan kontrol yang ketat
oleh pimpinan organisasi.
·
Nilai
pokok yang dikejar oleh organisasi publik adalah efisiensi dan rasionalitas.
·
Organisasi
publik melaksanakan sistem tertutup sehingga keterlibatan warga negara
dibatasi.
·
Peranan
administrator publik adalah melaksanakan prinsip-prinsip Planning, Organizing, Staffing, Directing, Coordinating, Reporting dan
Budgetting.
Beberapa poin
dalam administrasi publik klasik jika dilihat memiliki persamaan dengan kondisi
pelayanan publik di Indonesia dimana sistem birokrasi di Indonesia masih
cenderung sulit untuk dijangkau oleh masyarakat karena proses birokrasi yang
lama dan kaku, masih terhirarkis top down, contohnya untuk kasus sistem
desentralistik di Indonesia pemerintah pusat tetap memiliki kekuasaan eksklusif
yang tidak bisa sepenuhnya diserahkan pada pemerintah daerah. Pemerintah masih
memegang kontrol yang besar terhadap pemerintah daerah meskipun tidak lagi
sebesar ketika Indonesia menganut sistem pemerintahan sentralistik. Dalam
administrasi publik klasik organisasi publik lebih memfokuskan pada efisiensi
dan rasionalitas sehingga melupakan sisi humanis dari internal organisasi. Hal
inilah yang kemudian diperbaiki oleh paradigma Adminisrasi Publik Baru (New Public Administration) yang
merupakan karya dari George Frederickson . NPA memang tidak sepopuler tiga
paradigma lainnya dan memang kebanyakan pemikir luar maupun dalam negeri lebih
suka hanya menyebutkan tiga paradigma besar dalam pelayanan publik. Meskipun
tidak populer, paradigma administrasi publik baru ini memberikan penyegaran
dalam sistem birokrasi yang kaku, dimana pegawai diperlakukan seperti robot
untuk mencapai efisiensi dan rasionalitas dari tujuan organisasi tanpa
memperhatikan pada sisi humanis pegawai.
Fokus dari
Administrasi Negara Baru meliputi usaha untuk membuat organisasi publik mampu
mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan secara maksimal yang dilaksanakan dengan
pengembangan sistem desentralisasi dan organisasi demokratis yang responsif dan
partisipatif, serta dapat memberikan pelayanan publik secara merata. Karena
administrasi negara mempunyai komitmen untuk mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan
dan keadilan (social equity).[4]
Managemen
Publik Baru (New Public Management)
Paradigma New Public Management muncul pada tahun
1980-an dan masih berkembang sampai sekarang. Paradigma ini mencoba memperbaiki
kinerja pemerintah yang lamban dalam memberikan pelayanan publik dengan coba
memasukan prinsip atau semangat kewirausahaan seperti yang ada dalam organisasi
sector privat ke organisasi publik, memberikan sentuhan kompetisi untuk
menghasilkan efektitas, efisiensi dan produktifitas yang tinggi dalam
organisasi publik.
Inti dari ajaran NPM dapat diuraikan
sebagai berikut:[5]
·
Pemerintah
diajak untuk meninggalkan paradigma administrasi tradisional dan
menggantikannya dengan perhatian terhadap kinerja atau hasil kerja.
·
Pemerintah
sebaiknya melepaskan diri dari birokrasi klasik dan membuat situasi dan kondisi
organisasi, pegawai dan para pekerja lebih fleksibel.
·
Menetapkan
tujuan dan target organisasi dan personel lebih jelas sehingga memungkinkan
pengukuran hasil melalui indikator yang
jelas.
·
Staf
senior lebih berkomitmen secara politis dengan pemerintah sehari-hari daripada
netral.
·
Fungsi
pemerintah adalah memperhatikan pasar, kontrak kerja keluar, yang berarti
pemberian pelayanan tidak selamanya melalui birokrasi, melainkan bisa diberikan
oleh sektor swasta.
·
Fungsi
pemerintah dikurangi melalui privatisasi.
Indonesia sendiri
pada zaman pemerintahan Presiden Megawati pernah memakai atau menerapkan konsep
New Public Management secara radikal dengan melakukan privatisasi secara
besar-besaran namun keberhasilan Amerika, Inggris, Selandia baru dan negara
lainnya yang sukses tidak dapat diikuti oleh Indonesia. Privatisasi pada sector
strategis (contohnya indosat) dan tanpa
pemahaman yang tepat tentang bagaimana prediksi kedepannya, mengakibatkan
privatisasi menjadi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Selain itu prinsip NPM
yang menganggap masyarakat sebagai costumer tidak bisa dibenarkan karena dalam
UU sendiri sudah dikatakan bahwa semua masyarakat berhak mendapatkan perlakuan
yang sama dari negara tanpa adanya pemisahan karena kapasitas uang semata.
Pelayanan
Publik Baru (New Public Service)
New Public Service dianggap sebagai usaha kritikan
terhadap paradigma Old Public
Administration dan New Public Management
yang dirasa belum memberikan dampak kesejahteraan dan malah menyebarkan
ketidak-adilan dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat. Masyarakat harusnya
dianggap sebagai warga negara dan bukannya client atau pemilih seperti dalam
paradigma Old Public Administration
atau customer yang diusung oleh paradigma New
Public Management.
Prinsip-prinsip
atau asumsi dasar dari Pelayanan Publik Baru (New Public Service) adalah sebagai berikut :[6]
1.
Melayani
Warga Negara Bukan Pelanggan (Serves
Citizens, Not Costumer) ; melalui pajak yang mereka bayarkan maka warga
negara adalah pemilik sah (legitimate) negara
bukan pelanggan.
2.
Mengutamakan
Kepentingan Public (Seeks the Public
Interest) ; kepentingan publik seringkali berbeda dan kompleks, tetapi
negara berkewajiban untuk memenuhinya. Negara tidak boleh melempar
tanggung-jawabnya kepada pihak lain dalam memenuhi kepentingan publik.
3.
Kewarganegaraan
Lebih Berharga atau Bernilai dari Pada Kewirausahaan (Value Citizenship over Entrepreneurship); kewirausahaan itu
penting, tetapi warga negara berada di atas segala-galanya.
4.
Berpikir
Strategis dan Bertindak Demokratis (Think
Strategically, Act Democratically); pemerintah harus mampu bertindak cepat
dan menggunakan pendekatan dialog dalam menyelesaikan persoalan publik.
5.
Menyadari
bahwa Akuntabilitas Tidaklah Mudah(Recognize
that Accountability Isn’t Simple); pertanggungjawaban merupakan proses yang
sulit dan terukur sehingga harus dilakukan dengan metode yang tepat.
6.
Melayani
dari pada Mengarahkan (Serve Rather than
Steer); fungsi utama pemerintah adalah melayani warga negara bukan
mengarahkan.
7.
Menghargai
Manusia tidah hanya sekedar Produktivitas(Value
People, Not just Productivity); kepentingan masyarakat harus menjadi
prioritas meskipun bertentangan dengan nilai-nilai produktivitas.
Akar dari
berkembangnya paradigma Pelayanan Publik Baru dapat dipahami dari ide mengenai
demokrasi yang pernah dikemukakan oleh Dimock, Dahl dan Waldo, yaitu sebagai
berikut :[7]
1.
Teori
tentang demokrasi kewarganegaraan; perlunya pelibatan warganegara dalam
pengambilan kebijakan dan pentingnya deliberasi untuk membangun solidaritas dan
komitmen guna menghindari konflik. Hal ini melihatkan bahwa harusnya tidak ada
lagi pembatas yang membuat pemerintah jauh dari warganya. Warga dapat terlibat
dalam urusan pemerintah dan teori ini menimbulkan semangat untuk tidak lagi
terpatok pada kepentingan pribadi sebagai individu melainkan kepentingan
bersama sebagai sesama warga Negara. Administrator akan belajar untuk tidak
lagi melihat warga sebagai klien, pemilih atau pelanggan, melainkan sebagai
warga Negara yang memiliki hak dan tanggung jawab yang sama dalam membangun
pemerintahan. Pemerintah dapat berbagi kewenangan, mengurangi kontrol terhadap
masyarakat dan mempercayakan terciptanya kolaborasi yang efektif antara
pemerintah, masyarakat dan bisnis.
2.
Model
komunitas dan masyarakat sipil; akomodatif terhadap peran masyarakat sipil
dengan membangun social trust, kohesi sosial dan jaringan sosial dalam tata
pemerintahan yang demokratis.
3.
Teori
organisasi humanis dan administrasi negara baru; administrasi negara harus
fokus pada organisasi yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan (human beings) dan respon terhadap
nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan isu-isu sosial lainnya.
4. Administrasi negara
postmodern; mengutamakan dialog (dirkursus) terhadap teori dalam memecahkan
persoalan publik daripada menggunakan one
best way perspective.
Meskipun secara
garis besar hanya ada 3 paradigma besar dalam pelayanan publik, namun ada
beberapa akademisi yang menyatakan bahwa governance
merupakan salah satu paradigma dalam pelayanan publik. Dibalik semua urutan
paradigma tersebut,“Governance” atau
sekarang lebih dikenal dengan “Good
Governance” bisa dikatakan menyempurnakan konsep-konsep sebelumnya. Jika
pada masa-masa sebelumnya kekuasaan dan penyelenggaraan pemerintah lebih
didominasi oleh Negara, maka pada konsep Good Governance, partisipasi dari
aktor bisnis dan masyarakat sangat ditekankan dengan tujuan agar tercapainya
kebijakan pemerintahan yang dapat menyentuh semua aspek kebutuhan masyarakat
baik itu untuk sector privat maupun untuk masyarakat pada umumnya. Interaksi
yang konstruktif dan memadai dari ketiga aktor ini akan memudahkan kerja
pemerintah sehingga pemerintah tidak harus selalu menjadi corong utama dari
semua kegiatan. Pemerintah dapat berfokus pada isu politik dan membenahi
masalah hukum, sector privat akan menciptakan lapangan pekerjaan dan pendapatan
dan masyarakat dapat menjadi fasilitator untuk interaksi sosial dan politik
yang akan menimbulkan partisipasi masyarakat dalam aktivitas sosial, ekonomi
dan politik.[8]
Intinya Good Governance mengharapkan penyelanggaraan pemerintah tidak hanya
didominasi oleh Negara namun sector privat dan masyarakatpun berhak untuk
terjun kedalamnya.
Tabel 1. Pergeseran Paradigma
Administrasi Negara
Aspek
|
Old Public
Administration
|
New Public
Management
|
New Public Service
|
Dasar
teoritis dan fondasi epistimologi
|
Teori
politik
|
Teori
ekonomi
|
Teori
demokrasi
|
Konsep
kepentingan publik
|
Kepentingan
publik secara politis dijelaskan dan diekspresikan dalam aturan hukum
|
Kepentingan
publik mewakili agregasi kepentingan individu
|
Kepentingan
publik adalah hasil dialog berbagai nilai
|
Responsivitas
birokrasi publik
|
Clients dan constituent
|
Customer
|
Citizen’s
|
Peran
pemerintah
|
Rowing
|
Steering
|
Serving
|
Akuntabilitas
|
Hierarki
administratif dengan jenjang yang tegas
|
Bekerja
sesuai dengan kehendak pasar (keinginan pelanggan)
|
Multiaspek:
akuntabilitas hukum, nilai-nilai, komunitas, norma politik, standar
profesional
|
Struktur
organisasi
|
Birokratik
yang ditandai dengan otoritas top-down
|
Desentralisasi
organisasi dengan kontrol utama berada pada para agen
|
Struktur
kolaboratif dengan kepemilikan yang berbagi secara internal dan eksternal
|
Asumsi
terhadap motivasi pegawai dan administrator
|
Gaji
dan keuntungan, proteksi
|
Semangat
entrepreneur
|
Pelayanan
publik dengan keinginan melayani masyarakat
|
Sumber:DenhardtdanDenhardtdalam Tulisan tentang The
Roots of the New Public Service
Jika ditilik bisa
dibilang tidak satupun dari paradigma diatas adalah yang terbaik, tergantung
dari negara mana yang menerapkannya. Selalu saja ada usaha mengkritisi disetiap
paradigma untuk usaha perbaikan kualitas pelayanan publik. Jika New Public Management berusaha
mengkritisi dominasi pemerintah pada paradigma Old Public Administration yang terlalu besar dalam pelayanan publik
sehingga memerlukan untuk berbagi dengan sector publik dan menyerahkan pada
situasi pasar, maka New Public Service
berusaha memanusiakan kembali pemerintah dengan memastikan bahwa masyarakat
dianggap sebagai warga negara dan bukannya pelanggan sehingga seakan-akan
pemerintah tidak terlalu bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan publik
pada semua masyarakat. Meski banyak yang mengasumsikan bahwa paradigma New Public Service jauh lebih mampu
untuk menjawab kebutuhan publik, namun dengan kembali masuknya unsur politik
kedalam administrasi negara, seakan-akan mengulang kembali pembagian paradigma
administrasi negara berdasarkan locus dan focus yang dikemukakan oleh NicholasHenry, dimana seharusnya
sekarang kita sudah berada pada paradigma ke 5, yaitu administrasi negara
sebagai administrasi negara dan bukannya administrasi negara sebagai ilmu
politik yang ada ada pada paradigma ke 3. Hal ini mengindikasikan seperti
administrasi negara malah melangkah kebelakang dan bukannya maju. Namun
bagaimanapun padangan terhadap semua paradigma diatas, tergantung pada
bagaimana kesiapan suatu negara untuk mengadopsinya dan menererapkannya
sehingga memberikan perubahan dalam perbaikan kinerja pelayanan publik.
Untuk kondisi
Indonesia saat ini tidak bisa dibilang bahwa Indonesia menganut salah satu
paradigma diatas secara ekstrem, karena untuk kondisi pelayanan yang
terhirarkis, legalistic, dan top down seperti dalam paradigma Old Public
Administration masih tetap berlangsung di Indonesia sampai sekarang ini. Jika
dibilang Indonesia sedang menuju Public Service, praktek privatisasi yang
notabene merupakan ide besar dari paradigma New Public Management-pun masih
terus berlangsung. Namun praktek good governance memang sedang digalakan saat
sekarang ini di indonesia untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik yang
bertanggung jawab dan mengutamakan transpabilitas dalam setiap kegiatan
pemerintah terutama di pemerintahan daerah.
Terlepas dari
penggunaan salah satu paradigma diatas sebagai jawaban untuk memperbaiki
kualitas pelayanan publik di Indonesia, tidak bisa diabaikan jika kompetensi
dari birokrat atau aparatur negara sebagai pelayan publik merupakan kunci utama
dari keberhasilan pelayanan publik yang memenuhi kebutuhan publik sekarang ini.
Sebagaimana masalah Lack of Competencies yang
dikemukakan oleh Eko Prasojo mengindikasikan bahwa seorang pejabat publik /
pelayan publik tidak hanya harus memiliki satu kompetensi khusus saja yang
menjadi spesialisnya, misalnya kompetensi dalam bidang menajemen publik,
kebijakan publik atau organisasi publik (kompetensi teknis), melainkan harus
memiliki setidaknya tiga kompetensi, yaitu kompetensi teknis, kompetensi etika
dan kompetensi kepemimpinan (triangle
competencies)[9].
Kompetensi teknis merupakan kompetensi yang menjadi spesialis dimana pelayan
publik ditempatkan, harus mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan baik
internal maupun eksternal organisasi dan juga perkembangan pesat teknologi
informasi dan komunikasi yang mengharuskan pelayan publik berhubungan dengan
alat-alat elektronik dalam penyediaan pelayanan publik. Seringkali birokrat
atau aparatur negara senior kurang mampu beradaptasi dengan perkembangan
teknologi sehingga terpaku pada kegiatan-kegiatan manual yang memperlambat
pekerjaan. Kompetensi etika untuk menjamin terjaganya kualitas pelayanan kepada
masyarakat yang menjadi pegangan bagi setiap birokrat atau pelayan publik dalam
memberikan pelayanan sehingga tidak memungkinkan terjadinya pelanggaran
kemanusiaan. Kompetensi ini seringkali dilupakan oleh pelayan publik dan menimbulkan
image negatif birokrasi dimata masyarakat, seharusnya kompetensi etika ini
dapat dijadikan senjata untuk menciptakan hubungan yang erat dengan masyarakat
dan mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap kualitas pelayanan organisasi
publik. Dan kompetensi terakhir dalam Triangle
Competencies yaitu kompetensi kepemimpinan.Kompetensi ini memperlihatkan
bagaimana kemampuan seorang individu dalam organisasi publik dapat
menggerakkan/mempengaruhi orang lain dalam organisasi untuk dapat melakukan
sesuatu yang bertujuan untuk pencapaian organisasi. Seringkali pejabat publik
atau birokrat hanya memiliki kompetensi teknis atau etika saja, namun kalah
ketika beradu kehebatan dalam negoisasi atau bargaining.
Selain factor
kompetensi dari aparatur negara, organisasi publik sendiri harus mampu
beradaptasi dengan semua perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.
Berbeda dengan sector publik, yang memungkinkan untuk memotong prosedur yang
dirasa akan memperlambat kinerja, organisasi publik tidak harus meninggalkan
prosedur yang telah ada, hanya bagaimana memungkinkan untuk membatasi birokrasi
untuk terlalu menghambat menghasilkan kualitas pelayanan yang bagus dan
prosedur tetap ada untuk memastikan sistem pelayanan publik dapat terus
berjalan dan akuntabilitas publik terjaga. Dalam sebuah tulisan yang berjudul A New Public Service Management,
diungkapkan ada 10 komponen kunci yang bertujuan untuk menciptakan sistem kerja
yang lebih komprehensif dan menerapkan strategi dan pendekatan terpadu
sekaligus menempatkan prinsip dan nilai ini pelayanan publik dalam prakteknya
yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas organisasi publik baik untuk
tingkat lokal, regional dan nasional.[10]
Mulai dari
bagaimana sebuah organisasi publik mampu untuk membangun kebijakan, nilai dan
etos pelayanan publik yang sesuai dengan perkembangan zaman dan harus
berdasarkan realitas dan aspirasi masyarakat, bagaimana organisasi publik dapat
membuka peluang bagi masyarakat untuk dapat berpastisipasi dalam proses
pembuatan kebijakan, mengevaluasi kebijakan, memberikan pelatihan yang memadai
bagi pelayan publik, memberikan peluang bagi kelompok-kelompok minoritas untuk
dapat memberikan opini dan masukan kepada pemerintah agar aspirasi mereka dapat
disampaikan dan diakomodir oleh pemerintah. Pada dasarnya pemerintah atau
organisasi publik tidak dapat mengakomodir semua kebutuhan masyarakat seorang
diri,pemerintah harus dapat membangun jaringan kerja dengan masyarakat maupun
pihak swasta, namun hal ini tidak berarti mengurangi peran negara/pemerintah
namun lebih kepada meningkatkan kapasitas pelayanan publik itu sendiri.
Dalam hal sistem
pemerintahan Indonesia yang desentralistik, memang tidak mudah untuk pemerintah
dapat menciptakan satu standar yang dapat mengakomodir semua bentuk pelayanan
publik di Indonesia. Namun terkadang pemerintah pusat mengabaikan fakta bahwa
pemerintah daerah merupakan formasi depan yang langsung berhadapan dengan
masyarakat, yang mengetahui bagaimana kondisi riil masyarakat, yang dapat
menampung semua aspirasi masyarakat, jadi agak sangat tidak mungkin untuk
pemerintah dapat menetapkan seperti Standar Pelayanan Minimal (SPM) seperti
selama ini. Karena akan berakibat pada ketidak-adilan dalam pemberian
pelayanan. Seperti contohnya, Ujian Akhir Nasional yang menjadi standar kelulusan
setiap siswa di nusantara, hal ini miris karena tidak mungkin untuk menyamakan
opini bahwa setiap daerah di nusantara punya kualitas yang sama dalam bidang
pendidikan. Tidak semua daerah memiliki kapasitas pendidik yang memadai,
kapasitas peralatan sekolah yang cukup, dan kualitas pengajar yang baik seperti
di daerah urban. Terlebih lagi Satndar Pelayanan Minimal terdengar lucu karena
bagaimana mungkin setiap pelayan publik dapat memberikan kualitas pelayanan
yang baik jika mereka hanya dituntut untum memberikan pelayanan yang “minimal”
bukan kualitas pelayanan yang maksimal.
Terlepas dari
semua hal diatas, Desentralisasi tidak harus menjadi kendala dalam memberikan
pelayanan terhadap masyarakat. Tinggal bagaimana pemerintah dapat memahami
bahwa setiap daerah memiliki variabilitas yang tidak bisa disamaratakan.[11]
Kesimpulan
Pada
dasarnya untuk kondisi di Indonesia menurut hemat penulis, kita tidak perlu
menjadi pengikut atau follower dari pemikiran-pemikiran luar mengenai paradigma
administrasi negara yang berkenaan dengan pelayanan publik mana yang harus kita
terapkan di Indonesia untuk meningkatkan kapasitas pelayan publik atau birokrat
dan memperbaiki kualitas pelayanan publik itu sendiri. Jika dilihat lebih jauh,
Indonesia punya banyak “local wisdom” dari berbagai budaya yang ada di
Indonesia yang dapat menyamai prinsip-prinsip yang ada dalam paradigma New Public Service atau Governance. Kita bisa belajar etika
kepada suku minang, yang dari dulu sudah mempraktekan tentang bagaimana
demokrasi dalam skala kecil, bagaimana etika dalam pergaulan yang dapat
menggambarkan etika dalam organisasi, mengajarkan tentang mufakat dan hal
lainnya yang selama ini luput dari pandangan kita sehingga kita hanya terpaku
pada pemikiran-pemikiran dari luar yang belum tentu cocok untuk dapat di
terapkan dengan budaya Indonesia.
Dalam
hal sistem pemerintahan Indonesia yang desentralistik, pemerintah pusat tidak
perlu memaksakan untuk menciptakan suatu sistem yang nantinya malah akan
memperburuk kondisi pelayanan publik itu sendiri, sebenarnya hal ini kembali
lagi kepada bagaimana pemerintah pusat mempercayakan kepada pemerintah untuk
mengelola daerahnya secara baik namun tentu saja dengan tanggung jawab dan
pengawasan dari pemerintah untuk menjamin tidak terjadinya moral hazards
Daftar
Pustaka
Dwiyanto,
Agus. 2010.
Manajemen Pelayanan Publik :Peduli, InklusifdanKolaboratif. Yogyakarta : Gajah
Mada University Press.
Eko Prasojo, Prahara Birokrasi Publik
di Indonesia.
Janet V. Denhardt dan Robert B.
Denhardt, The New Public Service: Serving, not Steering, M.E Sharpe, Armonk,
New York, 2003, halaman 11-12. Dalam tulisan The New Public Service: Nalar
Politik dalam Administrasi Negara oleh Wayu Eko Yudiatmaja,
wayuguci.edublogs.org, Mahasiswa
Pascasarjana Manajemen dan Kebijakan Publik
FISIPOL UGM.
Jurnal A New Public Service
Jurnal Public service Today : Complex,
Contradictory, Competitive
Jurnal The Roots of the New Public
Service
Perkembangan dan Dinamika Administrasi
Negara di Indonesia: Pergulatan Wacana Administrasi “Negara” vis a vis
Administrasi “Publik” Oleh Wayu Eko Yudiatmaja, wayuguci.edublogs.org,
Mahasiswa Pascasarjana Manajemen dan Kebijakan Publik FISIPOL UGM
Kurniawan,
Teguh. 2007.
Pergeseran Paradigma Administrasi Publik : Dari Perilaku Model Klasik dan NPM
ke Good Governance.
The New Public Service oleh George
Frederickson dalam tulisan Paradigma Administrasi Negara. Tidak diketahui
Penulisnya.
[1]TulisanEkoPrasojo yang berjudul “PraharaBirokrasiPublik
di Indonesia”
[2]Baca JurnalTeguhKurniawan yang
berjudulPergeseranParadigmaAdministrasiPublik : Dari Perilaku Model Klasikdan
NPM ke Good Governance tahun 2007.
[3]Janet V. Denhardt dan Robert B. Denhardt, The New Public Service:
Serving, not Steering, M.E Sharpe, Armonk, New York, 2003, halaman 11-12.DalamtulisanThe New Public Service:
NalarPolitikdalamAdministrasi
Negara olehWayuEkoYudiatmaja, wayuguci.edublogs.org
MahasiswaPascasarjanaManajemendanKebijakanPublikFISIPOL
UGM
[4]The New Public Service oleh George Frederickson
dalamtulisanParadigmaAdministrasi Negara.TidakdiketahuiPenulisnya.
[5] Janet V. Denhardt dan Robert B. Denhardt, The New Public Service:
Serving, not Steering, M.E Sharpe, Armonk, New York, 2003, halaman 11-12. Dalam
tulisan The New Public Service:
Nalar Politik dalam Administrasi Negara
oleh Wayu Eko Yudiatmaja, wayuguci.edublogs.org
Mahasiswa Pascasarjana Manajemen dan
Kebijakan Publik FISIPOL UGM
[6]Keteranganlebihlanjut di tulisanThe Roots of
The New Public Service
[7]Baca tulisantentang The Roots of The New Public
Service
[8]Baca Jurnal Teguh Kurniawan yang berjudul Pergeseran Paradigma
Administrasi Publik : Dari Perilaku Model Klasik dan NPM ke Good Governance
tahun 2007.
[9]Public Servives Today : Complex, Contradictory,
Competitive
[10]Baca lebihlanjutdalamtulisan : A New Public
Service Management
[11]Baca lebihlanjuttulisanAgusDwiyanto : PengembanganSistemPelayananPublikdalam
Negara Kesatuan yang Desentralistik
Ijin copi materinya.
ReplyDeleteBorgata Hotel Casino & Spa Launches Its New - JTM Hub
ReplyDeleteBorgata Hotel Casino & 경주 출장안마 Spa has 제주도 출장마사지 expanded its online 성남 출장마사지 gaming offering to Atlantic City, offering its guests 경산 출장마사지 a variety 계룡 출장안마 of slot and table games.